Sarjana.
Bak mobil yang telah turun kastanya dari
kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer. Sarjanapun, maknanya semakin
memudar.
Terlalu banyak
sarjana modern yang merasa salah arah, kehilangan arah dan tersesat di jalan.
Termasuk saya.
Saya adalah seorang fresh graduate di tahun 2016
ini. Salah satu sarjana modern. Sedikit malu juga rasanya kalau saya berbicara
tentang diri sendiri. Jadi mungkin itu saja informasi tentang diri saya. Sekarang
ijinkan saya mengelaborasi apa yang saya amati dan sedang nikmati dalam pikiran
saya.
Badan Pusat
Statistik mencatat bahwa pada Februari 2015 5,34 persen pengangguran bertitel
sarjana dan meningkat menjadi 6,22 persen dalam satu tahun. Sarjana
pengangguran itu ibaratnya adalah orang-orang yang punya tiket konser, tapi tak
bisa menonton konser itu karena ternyata lapangan konser itu tak seluas yang
dibayangkan.
Ada banyak
faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Di sini saya ingin membeberkan cara pandang
saya pribadi akan hal tersebut. Jadi jangan dicuri ya. Ini pikiran saya lho,
inget. hehe
Setiap tahun
jumlah lulusan sarjana meningkat. Sangat jelas ini terkait langsung terhadap
masalah yang terjadi ini. Lalu kenapa setiap tahun semakin banyak lulusan
sarjana? Tentu saja karena setiap tahun mahasiswa yang diangkat semakin banyak.
Contoh nyata saja, mahasiswa satu angkatan saya dalam satu jurusan berjumlah 6
kelas dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 30an orang per kelas. Kemudian
angkatan setahun kemudian jumlahnya bertambah menjadi 10 kelas. Begitu
seterusnya.
Sebenarnya
implikasinya adalah bahwa taraf hidup masyarakat sudah semakin meningkat,
karena semakin banyak orang tua yang mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga
perguruan tinggi. Namun banyak orang yang tidak memperhitungkan dampak dari
kemajuan ini. Tentu saja dampak nyatanya adalah semakin ketatnya persaingan di
dunia kerja. Lalu ini semua salah siapa?
Tentu tak ada
yang bisa disalahkan. Jangan pernah menyalahkan pihak manapun.
Orang tua tak
bisa disalahkan karena mereka ingin anaknya mendapatkan pendidikan
setinggi-tingginya. Mahasiswa pun tak bisa disalahkan karena mereka memilih
untuk meningkatkan kualitas hidupnya lewat pendidikan.
Lalu
bagaimana dengan perguruan tinggi itu sendiri?
Seperti yang
saya katakan tadi, tak ada yang perlu disalahkan. Namun, seandainya saja
penerimaan mahasiswa baru dilakukan seketat dulu, mungkin saja jumlah mahasiswa
bisa dibendung. Namun kenapa kebanyakan sekolah, perguruan tinggi, dsb. mencari
siswa sebanyak-banyaknya dengan proses seleksi yang sedikit renggang?
Mungkin sudah
tergambar sedikit. Silahkan simpulkan sendiri. Satu-satunya petunjuk yang saya
berikan adalah bahwa kebutuhan di jaman modern begitu kompleks, meski tak ada
yang mengharuskan hal itu terjadi. Maka tak salahlah jika segala hal dijadikan
industri. Tak salah. Sama sekali tidak. Karena industri diciptakan oleh
manusia. Jadi tak salah. Karena memang sifat manusia yang hanya memikirkan diri
sendiri. Itu manusiawi. Sayapun begitu. Kebanyakan dari kita begitu terfokus
dengan kepentingan kita dan tidak memikirkan apa dampak yang diterima orang
lain atas ambisi kita memenuhi kepentingan atau kebutuhan kita.
Singkatnya
begini.
Sekolah dan
Perguruan Tinggi mempersilahkan masuk banyak siswa sehingga pemasukan yang
diterimapun semakin banyak. Tak salah kan? Namun, ada satu hal yang mungkin tak
terlalu mendapatkan perhatian pihak instansi tersebut.
Saya memang
bukan dewa. Maaf saya bukan orang hebat. Mungkin saya bisa mengatakan idealisme
saya, apa yang saya anggap seharusnya dilakukan semua pihak tapi saya sendiri
tidak pernah mencoba meletakkan kaki saya di sepatu mereka. Sebagai seorang
guru mungkin saya tak berhak dan mungkin saya sendiri tak mampu mewujudkan idealisme
saya. Tapi setidaknya saya ingin mengutarakan pemikiran sederhana saya ini.
Saat ini saya
bekerja di sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris. Suatu saat saya diajak
berbincang dengan bapak pemilik kursus ini. Kita berbincang mengenai hal-hal
yang bisa dikatakan kurang berhubungan dengan profesi guru kami. Kita berbicara
bisnis. Beliau mengutarakan bahwa perguruan tinggi, khususnya jurusan kami,
pendidikan, terlalu menekankan mahasiswa untuk menjadi guru yang baik, tapi tak
pernah kami diajarkan untuk menjadi penyedia lapangan kerja.
Intinya
adalah, sarjana seperti didoktrin untuk menjadi pegawai. Memang ada mata kuliah
entrepreneurship selama satu semester, namun seperti yang saya nyata rasakan,
sepertinya ada yang kurang dalam hal itu. Sepertinya itu saja tidak cukup.
Memang, mencari kerja sebagai pegawai saja sudah susah, bagaimana bisa menjadi
bos?? Sejak lulus kuliah hingga akhirnya diajak berbincang itu, saya baru
tersadar bahwa memang ada satu hal yang belum diajarkan.
Bagaimana membuka
pikiran dan jiwa.
Saya bukannya
ingin mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia, apalagi saya seorang guru, ya
sudah pasti akan ditertawakan. Namun begitulah saya. Otak saya dipenuhi idealisme-idealisme
yang mungkin susah untuk terwujud. Salah satu idealisme yang terlalu di angan-angan
yang saya miliki adalah sebuah sistem pendidikan di mana siswa bisa mengembangkan
softskill mereka sejak dini dengan menekankan perkembangan psikomotor anak dibanding
kognitif. Jujur, saya pribadi tertawa saat mengetik kata-kata ini mengingat
saya bukanlah tipe orang yang suka praktek. Saya adalah tipe orang yang suka
merenung, berpikir, melamun dan berteori. Memang bukanlah jenis orang yang
terlalu berguna di dunia ini. Tapi entah mengapa saya merasa bahwa ada orang di
luar sana yang mengerti cara pandang saya, dan saya harap beliau mampu sedikit mewujudkan
pemikiran saya.
Ada sebuah
wacana full day school. Memangnya nggak capek ya? LOL
Menurut saya
rencana itu bagus sekali, asal… Waktu seharian itu dibagi dengan bijak.
Misalkan saja mungkin sehari siswa diajak ke sekolah selama 8 jam. Nah, dalam 8
jam itu, 4 jamnya kita beri waktu siswa untuk belajar di kelas. Lalu sisanya? 4
jam yang lain kita bisa gunakan untuk mengembangkan potensi mereka. Nah, alternatif
saya, dan yang mungkin sedikit susah untuk direalisasikan adalah pelaksanaan
kegiatan ekstrakurikuler yang memang sesuai dengan minat dan bakat anak. Jadi
intinya adalah, kita tidak menyediakan daftar ekskul. Tapi… (Nah ini yang
menarik :D) kita berikan siswa kesempatan untuk menentukan hal apa yang ingin
mereka lakukan dalam 4 jam itu. Terserah mereka.
Mungkin bagi
anda yang pernah menonton film Accepted (itu mungkin keluaran tahun 2006? Saya lupa)
yang dibintangi Justin Long, akan mengerti cara pandang saya. Jadi dalam film
itu, Bartleby Gaines (J. Long) diceritakan tidak diterima di kampus manapun.
Itulah sebabnya dia mendirikan universitas bohong-bohongan yang ceritanya
menerima dia agar orang tuanya tak kecewa dia tidak kuliah. Namun ada sebuah
kesalahan teknis yang membuat sekolah itu seakan-akan memang memiliki website sendiri
dan dari website itu, orang-orang yang tidak diterima di kampus-kampus lain
(unaccepted people) mendaftar dan diterima otomatis. Bukannya mengatakan
kebenarannya, si Bartleby justru membiarkan orang-orang itu masuk. Tanpa adanya
dosen, Bartleby menyuruh mahasiswa-mahasiswa kw itu belajar sendiri dan
mempelajari apa yang mereka ingin pelajari. Tanpa dosen. Banyak dari
pelajaran-pelajaran yang mereka pelajari bukanlah pelajaran yang lumrah
(contoh: ada yang belajar meledakkan benda dengan telepati, LOL). Tapi mereka
mempelajari hal yang mereka minati, dan itu membuat mereka bahagia. Itu membuka
jiwa dan pikiran mereka.
Banyak anak
yang merasa terpaksa belajar matematika. Banyak pula yang merasa begitu
semangat saat pak guru matematika datang ke kelas. Banyak yang membenci
Sejarah. Banyak pula yang selalu mengangkat tangan saat guru sejarah mengajukan
pertanyaan. Artinya adalah semua orang memiliki minat sendiri-sendiri. Sebagai
fasilitator, kenapa kita tak biarkan mereka mengembangkan minat mereka DALAM
PENGAWASAN yang baik selama 4 jam sisa sekolah mereka.
Memang sulit.
Oleh karena itulah, profesi guru selayaknya diapresiasi tinggi. Bukan karena
saya seorang guru lho ya. Tapi itu memang murni pemikiran saya yang begitu
sederhana.
Semua anak memiliki
potensi dan minat yang selayaknya dibantu untuk dikembangkan, bukannya
dikekang. Asaal…. Tetap dalam pengawasan. Itu saja kok. Sederhana tapi sulit. Tapi
jika itu mampu terwujud, bukan tak mungkin mereka menjadi calon-calon sarjana
yang bisa membuka lapangan kerja sendiri sesuai dengan minat dan bakat mereka
masing-masing.
Sebagai
seorang Hindu saya begitu familiar dengan ungkapan Tat Twam Asi yang artinya
Aku adalah Kamu. Tapi, saya sedikit kurang setuju. Andai saja diperbolehkan
untuk merubah artinya, mungkin saya akan ubah menjadi “Aku dan Kamu Satu”. Apa
yang aku lakukan berdampak pada hidupmu. Apa yang kamu lakukan berdampak pada
hidupku. Karena kita satu, bukan sama.
Semoga tidak
ada yang salah paham atau tersinggung ya. Maksud saya baik kok. Kalau ternyata
pikiran Anda sama, ya saya bersyukur sekali. Tapi namanya pemikiran kan tak harus
sama toh. Yang penting saling menghargai saja. Kan hidup kita singkat. Ngapain
nyari gara-gara?
Salam damai
:D
P.S. Kalo sempet dengerin lagu medley The Poet’s Sky ciptaan saya di
bawah ya. Kalo sempet juga mungkin bisa dengerin lagu-lagu The Poet’s Sky yang
lain di http://soundcloud.com/thepoetssky
Nggak maksa
lho. Kan hidup bentar aja. Kurang rasanya kalo nggak ngederin semua musik di
dunia. Ya nggak?
Have a good
one, folks.
Cheers ^^
No comments:
Post a Comment